Belakangan ini
marak sekali terjadi pergeseran makna tentang budaya pergaulan di kalangan
remaja. Sekarang, rasanya sudah tak canggung lagi untuk memamerkan
kemesraan dengan sang pujaan hati di media sosial. Mungkin dari dulu pun sudah
ada beberapa remaja yang juga menunjukkan kemesraan dengan pacarnya. Hanya
saja, saat ini mereka jauh lebih berani untuk memperlihatkan kedekatan yang
sangat dekat layaknya suami istri. Belum lagi, gaya berpakaian yang mengumbar
aurat dan sangat jauh dari nilai-nilai sebagai seorang muslim/muslimah. Bahkan,
mereka pun semakin bangga bila mendapat pengakuan “seksi” dari teman-teman atau lingkungan. Hal yang lebih
memprihatinkan sosok-sosok remaja tersebut justru mempunyai banyak pengikut di
media sosialnya, baik instagram, facebook, path, dan lainnya. Siapakah pengikut
mereka? Hampir 80% pengikut mereka adalah juga sesama remaja yang belum
memiliki kematangan dalam berpikir dan bertindak. Si pengikut (followers) justru menganggap kebebasan
pacaran, pergi keluar negeri bersama pasangan yang masih status pacar adalah “goals” dalam kisah cintanya. Ikutan
dugem dengan pakaian yang serba terbuka juga dianggap sebagai “goals”. Bila terus terjadi, pernahkah kita terpikir akan jadi apa
negara ini dengan generasi penerus seperti itu?
pic courtesy of @missmarina.id |
Ternyata tidak sedikit juga dari para orangtua, khususnya orangtua
muda di era ini semakin khawatir dengan pergeseran budaya tersebut. Mereka
khawatir bila anak-anaknya kelak akan menjadi seperti itu.
Banyak sekali muncul pertanyaan, kenapa fenomena
tersebut bisa terjadi?
Mungkinkah karena kurangnya pendidikan agama dari orangtua bagi para anak
mereka? Apakah orangtua terlalu memberikan kebebasan pada anak-anak mereka?
Atau justru orangtua mereka terlalu mengekangnya? Anak-anak tersebut kurang
mendapat perhatian dari keluarganya? Apa mungkin karena mereka hanya ingin
diakui di lingkungan sehingga bergabung dengan “genk” yang salah dalam
pergaulannya? Atau hmmm..mungkin karena mereka berasal dari keluarga yang broken home?
Hal-hal tersebut adalah kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja memang
benar menyebabkan remaja tersebut salah memilih pergaulan. Perlu digarisbawahi bahwa
antara satu remaja dan remaja lainnya memiliki penyebab dan latar belakang yang
berbeda hingga membuat mereka seperti itu.
pic courtesy of @fitriaulia_ |
Sebagai
orangtua di zaman media sosial yang semakin beragam, dimana informasi sudah
dapat sangat mudah untuk diakses kapan saja, maka tentunya kita tidak boleh
menutup mata lalu melarang anak untuk steril dari internet atau media sosial.
Kenapa? Karena tidak akan mungkin untuk melakukannya. Tidak akan mungkin
orangtua menjadi penjaga sang anak selama 24 jam penuh. Ketika orangtua
melarang, sang anak pun berinteraksi dengan lingkungannya yang mungkin saja
akan mengenalkan hal ini. Lebih bahaya justru bila anak sembunyi-sembunyi atau
pertama kali tahu dari teman sebayanya.
Jadi, apa yang pertama
kali sebaiknya dilakukan oleh orangtua?
Dear Sisterfillah yang saat ini sudah menjadi orangtua ataupun yang akan
menjadi orangtua. Ada satu pertanyaan yang akan menjadi PR untuk dijawab: “mana
hal yang lebih penting bagi kita sebagai orangtua, Apakah kesuksesan dunia dan pengakuan dari orang lain terhadap anak
kita, atau tidak ada yang mengenal anak kita di dunia tapi Allah Subhanahu wa
Ta’ala selalu mendengar doa dari anak kita terutama saat kita sudah tiada
nantinya? “. Tidak perlu langsung dijawab atau diketahui orang lain
di sekeliling, tapi yuk bicara dengan hati yang terdalam dan tanamkan jawaban
tersebut menjadi nilai yang akan memandu kita untuk mengasuh anak yang kelak
akan menjadi salah satu pertanggungjawaban kita diakhirat.
pic courtesy of @marinadian |
Lalu, apa langkah selanjutnya?
Sabar dulu
yaa Sisterfillah,
to be
continued :)
Contributor:
Alfa Mardhika, M.Psi, Psikolog
Editor: Anisa Muthi’ah
0 Response to "News " Hijrah Pengasuhan (Part 1) ""
Post a Comment